Beranda | Artikel
Antara Tauhid, Ibadah, dan Islam
Senin, 7 April 2014

tokopusaka_05_6

Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan nikmat-Nya dan ridha Islam sebagai agama. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan Rasul-Nya, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjadi muslim adalah sebuah nikmat yang tak ternilai harganya. Tak bisa ditukar dengan dunia seisinya. Kenikmatan yang menumbuhkan rasa cinta di dalam hati kita kepada Allah ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR. Muslim dari al-‘Abbas bin Abdil Muthallib radhiyallahu’anhu)

Meskipun demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa jalan-jalan menuju surga tak semenarik jalan-jalan menuju neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga dikelilingi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka diliputi hal-hal yang menyenangkan [nafsu].” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itulah, tidaklah menempuh jalan menuju surga kecuali orang-orang yang diberikan taufik oleh Allah untuk berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang-orang yang bertauhid dan menaati rasul-Nya. Orang-orang yang menjauhi syirik dan kedurhakaan kepada-Nya. Mereka itulah para peniti jalan rasul. Orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul, mereka lah para pemenang dan peraih kesuksesan yang sejati.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul sungguh dia mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. Al-Ahzab)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar kenabianku; apakah dia Yahudi atau Nasrani, lantas dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaranku, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka, maka dia lah orang yang enggan [masuk surga, pent].” (HR. Bukhari)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu sesungguhnya dia telah taat kpada Allah.” (QS. An-Nisaa’ : 80)

Ketaatan yang terbesar dan amal ibadah yang paling utama adalah tauhid kepada Allah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Para ulama menafsirkan, maksudnya adalah ‘supaya mereka mentauhidkan Aku [Allah]’ sebagaimana pemahaman Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang dinukil oleh Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya.

Ada kaitan apa antara ibadah dengan tauhid? Dan apa pula hubungannya dengan agama Islam yang kita peluk selama ini? Mengapa istilah ibadah selalu diidentikkan dengan tauhid, dan mengapa orang yang tidak bertauhid dikatakan sebagai bukan muslim?

Di dalam hadits yang sahih dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa Islam mencakup; syahadat bahwa tidak ada ilah yang benar selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji (HR. Muslim)

Di dalam keterangan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan syahadat sebagai rukun Islam yang pertama. Demikian pula ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke Yaman, maka beliau berpesan kepadanya agar menjadikan dakwah yang pertama kali diserukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah (HR. Bukhari)

Kedua hadits di atas memberikan faidah kepada kita bahwa dakwah kepada Islam adalah dakwah kepada tauhid, tanpa tauhid yang benar maka Islam tidak mungkin terwujud dalam diri seorang hamba. Inilah yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa : 36)

Sebagaimana Allah ta’ala menjelaskan (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiyaa’)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl : 36)

Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa Islam adalah ibadah kepada Allah dan mengingkari syirik. Islam dibangun di atas nilai-nilai tauhid dan berlepas diri dari segala keyakinan dan praktek kemusyrikan, dalam ucapan, perbuatan, ataupun keyakinan. Islam tidak membenarkan segala bentuk pemujaan kepada selain Allah, apa pun dan siapa pun.

Oleh sebab itu, para ulama kita menerangkan bahwa hakikat islam adalah ‘berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan penganutnya.’ Islam inilah yang benar di sisi Allah, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah islam.”

Islam saja, bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani. Allah ta’ala berfirman membantah klaim ahli kitab terhadap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya), “Bukanlah Ibrahim itu Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif/menjauhi syirik, dan seorang muslim…” Allah juga menyatakan bahwa beliau bukan termasuk kaum musyrik.

Allah ta’ala juga mengisahkan keteladanan dakwah tauhid Ibrahim ‘alaihis salam kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah jelas antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata…”

Ini semua menunjukkan, bahwa hakikat keislaman bukanlah semata-mata dengan ucapan syahadat secara lisan, atau gerak-gerik anggota badan di dalam sholat, atau menahan haus dan dahaga dengan puasa, atau berbagi dengan sesama melalui zakat dan sedekah; namun lebih daripada itu tauhid dan islam hanya terwujud dengan memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya.

Ini sama sekali bukan bermakna bahwa islam dan tauhid tidak memiliki sisi sosial dan perhatian terhadap kemanusiaan. Justru dengan menerapkan islam dan tauhid secara benar itulah akan tumbuh kepekaan sosial dan penghargaan terhadap derajat kemanusiaan yang menjadi mulia dengan ubudiyah kepada Rabb alam semesta.

Tidakkah kita ingat firman Allah (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.”

Islam sangat menjunjung tinggi keadilan. Menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan menunaikan hak kepada setiap pihak yang berhak mendapatkannya. Islam sangat memerangi kezaliman dengan segala macam bentuknya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan…”

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum membuat kalian tidak berlaku adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya hal itu yang lebih dekat kepada takwa.” Islam memerintahkan sikap adil, kepada kawan ataupun lawan. Islam menolak kezaliman dan ketidakadilan.

Sementara keadilan tertinggi yang harus ditegakkan adalah tauhid kepada Allah. Sebagaimana Allah firmankan tentang syirik -yang itu adalah lawan dari tauhid- dalam surat Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.”

Hal ini menunjukkan -sebagaimana penafsiran Imam Ibnu Katsir rahimahullah– bahwa syirik adalah kezaliman terbesar. Sebagaimana Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatannya, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” (QS. An-Nisaa’ : 48)

Di sisi lain, Islam sangat perhatian kepada hak-hak manusia; hak orang tua, hak kerabat, hak tetangga, bahkan hak non muslim sekalipun. Ini semua menunjukkan bagaimana dakwah tauhid selaras dengan cita-cita keadilan dan perdamaian. Lebih daripada itu semua, dakwah tauhid mengantarkan umat manusia kepada ketentraman dan siraman hidayah dari Allah ta’ala, agar mereka bahagia di dunia dan di akhirat sana.

Secara tidak langsung hal ini memberikan faidah, bahwa ibadah dalam kacamata dan sudut pandang islam sangatlah luas. Tidak hanya berkaitan dengan aspek vertikal -hubungan dengan Allah- namun juga berkaitan dengan aspek horizontal -hubungan dengan sesama manusia-. Inilah kesempurnaan islam. Sehingga para ulama tafsir mengatakan, bahwa orang dikatakan salih yaitu tatkala dia bisa menunaikan hak-hak Allah dengan baik, demikian juga menunaikan hak-hak sesama dengan baik pula.

Meskipun demikian, tidak boleh dilupakan faktor utama di dalam syari’at ini adalah keikhlasan dan tauhid, yang ini menjadi syarat diterimanya seluruh amalan. Tanpa ikhlas dan tanpa tauhid maka segala amal kebaikan hanya akan berubah menjadi bak debu yang beterbangan, sia-sia belaka… Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; jika kamu berbuat syirik maka lenyaplah seluruh amalmu, dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Maa’idah : 72)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya, dengan hanif/menjauhi syirik…” (QS. Al-Bayyinah : 5)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Dari sini bisa kita katakan, bahwa penafsiran sebagian kalangan yang menyatakan bahwa islam bukanlah nama sebuah agama, islam hanya bentuk kepasrahan kepada dzat yang maha benar, sehingga islam tidak dibatasi oleh sekat agama -yaitu agama yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– namun islam itu merambah dan meluas kepada siapa pun juga -tanpa membedakan agama dan akidahnya- jelas sebuah kekeliruan dan kekafiran yang nyata…! Laksana roda dengan jari-jarinya, maka seperti itulah agama kata mereka, semuanya memiliki poros utama yang sama yaitu tuhan, walaupun jalan dan metodenya berbeda-beda… Subhanallah! Maha suci Allah dari perkataan dan keyakinan mereka…

Padahal, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul itu setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an- Nisaa’ : 115)

Allah juga menegaskan (yang artinya), “Dan sesungguhnya yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, ikutilah ia. Dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya…” (QS. Ali ‘Imran)

Allah ta’ala pun berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu kaum ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk.” (QS. Al-Bayyinah)

Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa hakikat keislaman tidak akan tegak tanpa tauhid dan keikhlasan, sebagaimana ia tidak bisa terwujud dengan benar apabila tercampur dengan syirik dan riya’. Islam memerintahkan manusia -dan juga jin- untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan; ibadah dengan maknanya yang sangat luas; yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan atau perbuatan, yang tampak ataupun tersembunyi. Inilah Islam yang tegak di atas dua pondasi utama; kita tidak beribadah kecuali kepada Allah, dan kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syari’at dan perintah-Nya, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah.

Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama, menuju penghambaan kepada Rabb alam semesta. Islam menghormati keadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam segala sisi kehidupan; apakah hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, hubungan dengan orang lain, atau bahkan hubungan dengan dirinya sendiri.

Dengan kalimat yang ringkas, bisa disimpulkan, bahwa islam adalah ketundukan beribadah kepada Allah semata, alias tauhid itu sendiri. Karena pada hakikatnya semua ajaran syari’at adalah bagian tak terpisahkan dari akidah tauhid dalam diri seorang muslim. Sehingga, kalau kita sering mendengar ungkapan ‘tiada kemuliaan kecuali dengan islam’ kita bisa menyempurnakannya dengan kalimat ‘dan tiada kemuliaan hakiki tanpa tauhid dan keikhlasan’. Wallahu a’lam bish shawaab. Wallahul musta’aan.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/antara-tauhid-ibadah-dan-islam/